/* Dock menu by www.iblographics.com ----------------------------------------------- */ .fisheye{ text-align: center; height: 62px; position: relative; } a.fisheyeItem { text-align: center; color: #000; font-weight: bold; text-decoration: none; width: 40px; position: absolute; display: block; top: 0; } a.fisheyeItem2 { text-align: center; color: #000; font-weight: bold; text-decoration: none; width: 40px; position: absolute; display: block; bottom: 0; } .fisheyeItem img { border: none; margin: 0 auto 5px auto; width: 100%; } .fisheyeItem2 img { border: none; margin: 5px auto 0 auto; width: 100%; } .fisheyeItem span, .fisheyeItem2 span { display: none; positon: absolute; } .fisheyeContainter { height: 50px; width: 200px; left: 500px; position: absolute; } #fisheye2 { position: absolute; width: 100%; bottom: 0px; } /* Fin del dock menu
Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, April 3, 2011

akan kah berita baik yg akan kau berikan pd ku?


Kulihat bayanganku sendiri yang berantakan di depan cermin. Mataku sembab, basah oleh air mata, dan masih ada sesenggukan. Rambutku acak-acakan. Di belakang bayangan itu, Keysha, anakku yang masih balita, sudah tertidur pulas. Lampu temaram di kamar ini menjadi saksi atas keputusanku. Cukup sudah! Kamar ini sudah terlalu mual menjadi benteng terakhir atas pertengkaran demi pertengkaran denganmu. Sementara ruang tengah lebih mirip kapal pecah. Malam ini, aku anggap sudah menjadi puncaknya. Besok, apapun risikonya, kita harus berpisah. Cerai!
Aku beranjak dari cermin, bangkit dari duduk di atas kursi jati di atas lantai keramik yang dingin, sedingin malam ini. Kuhampiri Keysha, mencoba ikut larut dalam mimpinya, yang mungkin saja berimpi bersama dengan seorang ayah yang baik. Merebahkan tubuhku dan memeluknya. Mencoba memejamkan mata, sekalipun peristiwa tadi masih jelas tergambar di pelupuk mataku.
.                                                                                   ……
.                                                                                     …
“Bundaaaaaa…….”teriak, Keysha. Menangis keras.
“Ada apa, Sayang?” tanyaku. Menyambut Keysha yang datang menghambur. Mematikan kompor yang menyala dengan ubi goreng dalam wajan yang belum masak.
“Maaaaaa…maaaa…”, teriakmu. Keras. Bersama dengan suara bantingan beberapa benda di ruang tengah.” Berapa kali aku harus bilang, jaga Keysha saat aku lagi konsentrasi kerja! Sekarang? Hancur sudah!!!”
Teriakan yang mungkin terlalu biasa. Mirip sinetron murahan di TV Swasta. Dan seperti biasa pula, aku tidak bicara banyak, melayani perdebatan-perdebatan murahan.
Tetapi saat ini aku melihat sesuatu yang ganjil. Telinga Keysha merah.
“Pa..! Apa yang Papa lakukan pada Keysha?”
“Heh…kok kau jadi bela-belain Keysha. Lihat! Gara-gara keysha. Laptopku konslet tersiram tumpahan air gelas. Heh…lagipula sejak kapan dia punya bola dan dibiarkan main dalam rumah? Kau beri dia bola, heh? Perempuan dikasih bola. Mau kau jadikan apa anakmu itu?
“Pa. Sabar, Pa. Keysha ini kan anak kita satu-satunya. Dia masih kecil dan belum tahu apa-apa. Kenapa harus marah-marah gitu, apalagi sampai menjewernya. Kasian dia. Bisa luka hatinya.”
“Ooh,…begitu yaa….kau selalu berpikir sebagaimana pikiranmu. Kau tidak pernah berpikir seperti aku yang harus mengerjakan sekian tumpuk kerjaan dan besok harus presentasi. Sekarang semuanya hancur !!! Hancur..!!!, ” teriakmu.
.                                                                            …..
.                                                                              …
Kurasa, aku tidak perlu menceritakan semua detil pertengkaran kita. Yang pasti, hari itu aku mencoba melawanmu, demi membela Keysha yang bersembunyi di belakang dua kakiku dengan tangis dan wajah takutnya padamu. Aku terus membantah semua omelanmu, atas nama Keysha. Hingga puncaknya menjadi jelas, kau banting pintu keluar sambil membawa berkas-berkas kerjamu. Kau pergi meninggalkan derum suara mobil Pergi entah ke mana. Mungkin ke kantor. Mungkin ke tempat sampah!
Aku sudah membujuk Keysha, mengalihkan ketakutannya pada sesuatu yang menyenangkan, lalu berbaring dia sampai tertidur. Tertidur dengan ketakutannya.
.                                                                              ***
Mengingatmu, adalah memaksaku mengakui kebodohan atas keputusan yang paling fatal. Aku tidak mengira bahwa termperamenmu begitu kasar, bahkan untuk menyayangi anak seumuran Keysha, darah dagingmu sendiri. Ironi.
Kau bukan sosok yang hanya sesaat kukenal. Terlalu lama, lebih dari setahun, tentunya bukan waktu yang pendek untuk mengetahui karaktermu. Sehingga, pada suatu saat paling romantis, bisa aku iyakan hasratmu menjadi suamiku. Pendampingku seumur hidup.
Wajah yang elok dan dewasa, kemampuan yang matang dalam organisasi, disukai banyak orang, duh,,,apa lagi? Sebuah perkenalan yang diwarnai seribu puisi dan janji akan perjalanan hidup yang akan indah. Apa lagi..?
Tetapi aku sungguh keliru. Sejak malam pertama kita bersetuhan, padamu seolah aku baru bertemu orang yang seperti orang asing. Engkau lain sekali. Pribadi yang sungguh berbeda. Temperamental, kasar, tidak perhatian sama sekali, dan memaksakan kehendak. Aku tertipu, terjebak dalam belenggu perkawinan yang diwarnai dengan pertengkaran demi pertengkaran. Padahal, seumur hidup, aku sama sekali belum perah bertengkar, kecuali hanya debat-debat ringan, dan aku selalu mengalah. Padamu, aku mengalah, tetapi tetap saja bukan akhir yang indah dari sebuah cerita perang rumah tangga.
Aku masih ingat. Sewaktu Keysha lahir ke dunia, aku pikir segalanya akan berubah. Keysha akan mampu memunculkan kasih sayangmu. Akan muncul naluri kebapakanmu dan lenyap angkara murkamu, demi melihat bayi yang begitu indah, begitu murni, begitu penuh dengan cinta. Tetapi entah mengapa Tuhan tidak memberikan itu. Wajah cantik putih Keysha yang tertidur tidak mampu meluluhkan benteng hatimu yang beku. Kau tetap begitu. Kau tetap mengerikan.
Aku membesarkan Keysha hampir seperti sendirian. Kau datang dan pergi layaknya metromini datang ke terminal. Ya, kau benar-benar seperti menganggap rumah ini terminal. Entah dimana kau tidur, makan, atau berbincang. Sampai rumah hanya berganti pakaian, marah-marah, dan pergi. Memang, soal uang, kau selalu berikan padaku. Tetapi dalam sebuah mahligai perkawinan, apakah hanya uang yang diperlukan? Setiap obrolan yang tak asyik itu, topikmu hanyalah soal kerja dan selalu under estimate bahwa aku tak mampu, tepatnya takkan pernah mampu, memahami apa yang kau bincangkan itu. Kau ada, tetapi jiwamu seolah tidak pernah hadir di sini.
Tetapi tentu saja Keysha butuh ayah. Hanya saja, ayah yang ada di hadapannya dari bayi sampai kini adalah ayah yang menakutkan. Setiap mobilmu terdengar di halaman depan, Keysha selalu saja bersembunyi di balik tubuhku. Ketakutan. Ketakutan yang jujur untuk seorang anak seusianya. Terlebih jika kau sudah masuk dan berlaku semaumu, sekalipun sapaku sudah semerdu dan semesra itu.Ya. Aku rasa keputusanku sudah bulat. Cerai. Sungguh. Aku tak bisa tidur lagi memikirkan esok. Kasihan Keyla. Kasihan juga aku dan hidupku.
.                                                                                      ***
“Kriing….”
Lamunanku buyar. Segera aku beranjak dari kamar Keysha untuk meraih telpon.
“Ya….Waalaikum salam…Benar saya sendiri Nyonya Jarot. Ya…ya….benar……..”
…..
“Apa?”
“Kecelakaan?”
.                                                                                   ***
RS Harapan Sehat
“Nyonya Jarot?”, seorang perawat memanggil.
Terdengar jelas, sekalipun lalu lalang manusia begitu banyak di ruang UGD rumah sakit ini. Keysha masih tertidur di pangkuanku.
“Silakan…” kata perawat . Bahasa tubuhnya menuntunku ke hadapan seorang dokter.
“Silahkan duduk, Ibu.”
Seorang perempuan usia empat puluhan tersenyum dan menyapa dengan gaya bahasa yang dipaksakan untuk menenangkan orang. Aku baca sederet tulisan pada jas di bagian dada kanan. Dokter Maria Tamam. Dia mempersilakan sebentar, tetapi pandangannya tetap tak beranjak dari catatan dan foto rontgen yang ada di kedua tangannya.
Sebentar kemudian dia menatap Keysha yang terpejam di gendonganku. Tersenyum. Menyibak rambut Keysha yang sedikit basah oleh keringat. Keysha tak bergeming, masih lelap.
“Bagaimana keadaan suami saya, Bu Dokter?”
Dari balik kacamata, matanya tajam menatapku. Agak lama. Aku menduga, ada sesuatu yang berat. Aku siap.
“Bu Jarot. Suami ibu masih dalam kondisi kritis. Butuh beberapa waktu untuk bisa benar-benar sembuh. Tetapi, saya harus menyampaikan sesuatu yang penting untuk masa depan suami anda, dan tentunya masa depan anda. Semoga saya keliru.”
Jantungku berdetak kencang. Aku tahu, melihat dari mobil suamiku yang hancur terguling, dan parahnya kondisi suamiku sebelum memasuki ruang bedah. Bagaimanapun dia adalah seorang dokter bedah, dokter yang di tangannya ada tanggungjawab atas keberlangsungan nyawa suamiku. Apapun yang dia katakan, aku percaya itu yang terbaik yang harus dia katakan.
“Katakan saja, Dok.”
“Benturan di kepalanya begitu keras. Beberapa jaringan saraf di bagian belakang luka parah. Jika suami ibu dapat terus bertahan dan lolos dari masa kritis ini, bisa saya katakan ini benar-benar keajaiban. Tetapi, Bu Jarot. Sekalipun dia nanti hidup, sangat kecil kemungkinan dia bisa kembali seperti sedia kala. Dia akan lumpuh selamanya.”
Aku diam, tertunduk. Aku kuatkan untuk tidak menangis.
“Bukan hanya itu, Ibu. Saya sangat khawatir. Hanya keajaiban yang akan membuat dia memiliki kesadaran seperti sediakala. Dia, benar-benar kehilangan memori. Dia, akan hilang kesadaran. Amnesia total.”
Kali ini leleran air mataku sudah tidak terbendung. Entah kalimat lain yang seperti apa, atau kata-kata penghibur apa yang diucapkan oleh Dokter Maria, aku sudah tidak fokus lagi. Aku hanya bisa menyebut nama Allah untuk menguatkan perasaanku sendiri. Ya Allah, sebegitu beratnya Kau uji hambamu ini.
Dari balik kaca aku melihatmu terbaring dengan segenap alat-alat kedokteran yang menempel di tubuhmu yang terbujur. Masih tersisa beberapa warna darah di antara luka-luka yang menganga. Sendiri.
Mas….
***
Enam Bulan Sesudahnya
Suara sedikit berdencit saat kursi roda dibuka dari atas mobil van putih, tertulis RS Harapan Sehat. Kau dipondong oleh perawat pria, didudukkan di atas kursi itu, dan kemudian dirapikan. Hanya sebentar, lalu mesin ambulan itu dihidupkan. Lenyap, meninggalkan halaman rumah. Meninggalkanmu di atas kursi roda, berhadapan denganku, dan Keysha.
Wajahmu kosong, pucat, lemas, seperti orang dengan kecerdasan rendah yang tanpa daya. Tanpa harapan. Seperti jiwa yang mati. Hilang sudah keangkuhanmu, egomo, amarahmu, dan segala ruh yang pernah bernaung atas ragamu. Yang kulihat kini hanyalah jasad hidup yang kosong di atas kursi roda. Jasad yang bisa mati seandainya kubiarkan begitu saja. Diam.
Aku. Sikapku. Pandangan mataku padamu. Entah bagaimana kusenyum-senyumkan kupastikan tak bisa menyembunyikan kedukaan ini. Sekalipun benci masih bersarang di dadaku. Kau yang dulu ada sudah membuat rumah ini seperti neraka, bagaimana dengan kau yang bahkan tak bisa berbuat apa-apa? Belum cukupkah apa yang sudah kau perbuat selama ini sehingga dalam diammu pun aku harus menanggung beban atasmu? Ooh…Tuhan.
“Slamat datang, Ayah”, sapa Keysha. Justru dia yang pertama menyapa Papanya. Mendahuluiku yang masih mematung. Keysha lah yang menyapa pertama, dari balik kakiku. Ya. Dia masih setakut dulu. Entah bagaimana dia bisa memulai menyapanya. Sebuah sapaan yang dulu biasa aku ucapkan padamu. Dulu.
***
Aku mematuhi kata-kata Dokter Maria, untuk dengan sabar mengajakmu mengobrol sekalipun mungkin tak sepatah kata pun yang akan kau pahami yang keluar dari mulutku. Dokter Maria juga menasihatkan padaku tentang sabar. Sabar untuk menyuapimu dengan bubur tiap sekian jam, sabar untuk mengganti celanamu ketika buang air besar maupun kecil, sabar untuk memberimu obat, memandikanmu, meletakkanmu di tempat tidur, dan semuanya. Kau tahu? Betapa itu sangat sulit untukku. Bukan karena aku tak mau melakukan itu. Tetapi….Tuhan, sungguh aku tak tahan melihatmu dalam penderitaanmu. Dan itu semua akan kulalui bersama Keysha setiap hari, entah sampai kapan. Dan Keysha, semoga saja dia menjadi anak yang shalihah, yang akan tahan menghadapi tekanan ini.
Entah….entah..entah sampai kapan.
Hari demi hari kita lalui. Soal biaya pengobatanmu selama masa terapi, mungkin sudah terkaver oleh asuransi yang kau ikuti Tetapi soal ekonomi keluarga, sekarang jatuh di atas pundakku. Sebuah toko kecil di depan rumah berdiri. Sedikit tabungan tersisa kumanfaatkan untuk berdagang kecil-kecilan, sebuah impian kecil yang dulu sempat pupus masa bersamamu. Sebuah pilihan yang kurasa tepat, demi dekat dengan Keysha dan dekat denganmu, demi mengurus kau berdua. Alhamdulillah, rejeki finansial tak perah lari meninggalkan kami.
Tak pernah lelah aku memohon kepada Allah demi kembalinya kau seperti sedia kala. Dalam doaku di kala senggang, ataupun selepas sholat, selalu dengan terang kupintakan akan kesembuhanmu. Aku tahu Allah punya keajaiban, Maha dari segala Maha atas semua ujian yang kita alami ini. Aku sangat yakin dia sedang membuat sebuah skenario. Aku hanya butuh bersabar. Itu saja. Semoga kesabaranku tetap ada, sekalipun sebagai manusia biasa, atau barangkali sebagai perempuan, aku tak bisa untuk tidak menangis.
***
Kau harus tahu. Jika aku demikian terbiasa untuk memandikanmu, memberimu makan, membersihkanmu dan mengganti bajumu, itu tak seberapa nilainya dibandingkan dengan apa yang telah Keysha lakukan. Ya! Keysha kita yang lucu, imut dan cantik.
Subhanallah. Dia seperti malaikat kecil yang diberikah Allah kepada kita untuk tetap optimis. Kau harus tahu bahwa dia berubah sejak tahu bahwa ayahnya sedang sakit. Dia cepat beradaptasi padamu. Dia seolah terpanggil untuk akrab kepadamu. Pagi ketika sarapan, dia menyapamu, mengajakmu mengobrol, mencium tanganmu sebelum kuantar ke Taman kanak-kanak. Saat dia pulang, dia juga mencium tanganmu, dan menyapamu, melaporkan segala sesuatu di sekolah tadi. Aku melihatnya, Keysha kecil kita, menunjukkan nilai hasta karyanya padamu yang tetap mematung. Aku mendengarnya, Keysha kecil kita, menggosipkan tentang kelakuan jahil temannya. Aku melihatnya, menemanimu dan mengajakmu mengobrolkan tentang film tivi favoritnya. Aku sering mendapatinya, tertidur di kakimu, di kaki kursi rodamu.
“Ayah, ini lihat gambar Keysha. Bagus ya, Ayah? Ini bu guru kasih nilai A…”
“Ayah…..masih ingat gak sama si Doni yang nakal, yang kuceritakan kemarin itu. Nah, tadi dia dihukum bu guru karena berkelahi. Sukurin….”
“Ayah, itu si Ipin sama Upin kok bisa dimarahi Kak Ros terus. Kasian yaa….”
“Ayah, Keysha dulu tu waktu keysha beli bola itu karena ingin main bola seperti waka waka e..e…”
Hahaha….
Duuuh, Keysha. Kadang aku cemburu padamu. Kok bisa? Keysha sangat banyak meluangkan waktunya padamu. Mulai dari mengajak ngobrol, mengajak bernyanyi, memijiti kakimu, duuuh…anakku….Aku jadi sungguh terharu. Cemburu. Di antara waktu mencuri-curi kebersamaanmu bersama Keysha, aku sering tersenyum dan tak sadar menitikkan air mata. Padahal, lihatkah dirimu. Kau bahkan tak menunjukkan reaksi apapun pada Keysha. Diam. Tetapi kau bisa mencuri hatinya.
Kau tahu, Keysha belum pernah seperti itu saat kau masih sadar seperti dulu. Keysha dulu sangat tertekan atas keberadaanmu. Hhh…andai saja kau sedikit memiliki hati pada saat itu, tentulah Keysha yang sekarang jauh lebih menikmati adanya Ayah yang nyata. Mas Jarot, kau harus tahu itu, dialah sumber kekuatanku untuk bisa mencintaimu, menyayangimu, dan tabah melalui hari-hari bersamamu.
Terima kasih Keysha.
***
“Saya sungguh kagum kepada perkembangan Pak Jarot. Organ-organnya sudah semakin sehat”, kata Dokter Maria sambil tersenyum. Dirapikannya kacamatanya. Diantara jarinya ada pena untuk memberi centang pada beberapa item form hasil pemeriksaan suamiku.
“Terima kasih, Dok,”jawabku.
“Perkembangan Bapak benar-benar di luar dugaan. Luar biasa. Mungkin karena dia memiliki istri dan anak yang mencintainya. Tampaknya Bapak berada di keluarga yang tepat. Tetap semangat dan terus diterapi, Bu.”
“Makasih, Dok”, jawabku.
“Keysha sayang. Ajak terus Papamu ngobrol ya, Sayang. Semoga Tuhan memberikan keajaiban padanya.”
“Iya, Bu Dokter.”jawab Keysha polos.
***
“Bundaaaa…..bundaaaa….” Keysha berteriak-teriak. Seperti kegirangan. Aku masih belum menyelesaikan doa sesudah shalatku.
“Ya, Keysha. Ada apa” tanyaku heran.
“Lihat..lihat!”Keysha memberiku kertas gambarnya. Hanya sebuah gambar lingkaran tak sempurna. Tidak ada yang istimewa. Biasanya Keysha menunjukkan gambar rumah, bunga, binatang atau sejenisnya. Apa maksudnya?
“Keysha. Apa ini?”
Keysha menunjukkan mimik kegirangan. Aku masih belum mengerti.
“Bunda. Ini gambar Ayah….” teriak Keysha sambil matanya berkaca-kaca.
“Apa !!!!”
Segeralah kami menghambur padamu yang, seperti biasa, menatap kosong. Kami tidak perduli. Seolah ada semangat baru padaku, pada Keysha. Seolah Allah menjawab doa-doa kami. Aku menghujanimu dengan pelukan dan tangis.
Syukur Alhamdulillah
***
Setahun berjalan semenjak kemajuanmu. Peristiwa demi peristiwa menyenangkan kita alami bersama. Aku sudah tidak merasakanmu sebagai beban, meskipun kau masih belum bisa makan, buang air, berganti baju, apapun kecuali cuma diam, tetapi bersamamu seolah menjadi saat yang menyenangkan, khususnya untuk Keysha. Dia sudah terbiasa menyuapimu dengan bubur, mendorong kursi rodamu dan membawamu jalan-jalan di taman saat liburan, atau mengajakmu berbincang, memperlihatkan album foto masa lalu kita ataupun foto kecil dia.
Aku sempat merekam saat-saat indah itu. Ada beberapa potret yang menunjukkan kegembiraan kami bersamamu. Ada satu gambar, aku potret saat di taman, saat kau dan Keysha memandangi bebek-bebek yang berenang di kolam. Kata Keysha, kau paling suka memandangi bebek-bebek itu. Entah dari mana dia bisa menyimpulkan itu. Katanya, dia melihat dari cahaya matamu dan gerakan tanganmu.Ada gambar saat Keysha memandu tanganmu menuliskan huruf K- E - Y - S - H – A. Dengan penuh kesabaran Keysha mencoba merangsang tanganmu yang masih mati gerak. Saat itu, Wajah Keysha dihiasi senyuman ketika satu huruf: A, bisa kau buat. Kata Keysha, itu sempurna, meskipun aku tak bisa membedakan itu huruf A, H ataukah N…
Suatu saat, ketika Keysha sudah memasuki Sekolah Dasar, Keysha mengajak teman-teman barunya berkenalan denganmu. Aku sungguh khawatir saat itu. Aku pikir, apakah Keysha tidak terpukul jika satu atau dua temannya nanti menjadi risih, kasihan, ataupun malah menghinanya. Tetapi aku keliru, keriangan Keysha bersama dengan teman-temannya justru menjadi awal keajaiban pada dirimu. Seolah mereka menjadi energi bagimu. Saat itu, kau berhasil mengucapkan satu patah kata. Setelah sekian lamanya kau bungkam….
“K….kk……..eeee….e..e..e.kkkk…..eeee…e.eyyyy…i..i.i.i.sssss……s..s.s….a.a.a..aa.aaa”
***
Setelah itu, perubahan demi perubahan ajaib terjadi. Mulai dari bola mata yang sudah dinamis, hingga kau sudah mulai bisa menggerakkan tangan dan kaki. Aku dan Keysha sudah mulai berani menitahmu, memberikan pelajaran berjalan selayaknya mengajari bayi. Walaupun lebih banyak waktumu berada di atas kursi roda, kami sudah bisa memulai memberikan pelajaran kemandirian bagimu. kau sudah bisa memberikan isyarat saat ingin buang air, kau sudah mulai mengenal satu dua suku kata, kau sudah menunjukkan reaksi-reaksi sederhana.
Keysha makin sayang padamu. Dia makin tak sabar menunggu hari minggu, untuk mengajakmu ke taman, mengajarimu berjalan, mengajakmu memberi makan bebek-bebek di kolam taman. Seperti seorang anak polos, kau tak pernah membantah apapun yang hendak Keysha lakukan padamu, kau begitu percaya.
Ada kejadian-kejadian lucu saat kau salah mengenali bebek-bebek. Keysha membiarkanmu memberi makan bebek-bebek. Entah apa yang Keysha lakukan hingga lengah mengawasimu. Yang kau lakukan bukan saja memberi makan bebek, tetapi juga memberi makan rombongan angsa yang kebetulan menjadi bagian dari sekian unggas penghuni kolam. Engkau panik saat satu dua angsa mengejarmu dan mematuk kakimu, padahal kau tak bisa berlari kencang. Sampai di rumah Keysha sedih, menangis, campur geli. Aku yang dapat jatah mengobati lebam patukan angsa dengan air es. Akhirnya, kau lelap bersama Keysha yang tertidur di pangkuanmu.
Keysha juga tak pernah lelah mengajak teman-temannya ke rumah untuk menghiburmu. Keysha memaksamu untuk bicara, menceritakan sesuatu di hadapan teman-temannya. Lagi-lagi aku yang khawatir. Bukankah selama ini kau sulit untuk berkomunikasi?
Benar. Kau hanya diam sampai bberapa saat. Tetapi keajaiban terjadi. Kau tahu, yang keluar dari mulutmu saat itu adalah: “kwek…kwek..kwek….”.
Mereka tertawa semua. Aku yang mencuri peristiwa itu, mengintip, ikut tertawa.
.                                                                 ***
Allah Maha Memberi Rizki. Selain bahagia melihatmu dan melihat Keysha yang semakin ceria, bisnis keluarga kita pun yang kukelola sendiri ternyata bernasib baik. Bermula dari warung kelontong kecil-kecilan, ditambah dengan satu dua rekan yang mau menanam saham, sekarang sudah berubah menjadi butik batik yang lumayan menjual. Mungkin karena iklim batik yang sedang bagus dan berdaya saing tinggi, dan aku juga bisa memanfaatkan banyak media, mulai dari koran, pameran, sampai dengan internet.
Lelah? Huh, sangat! Tetapi menyenangkan, karena aku memiliki Keysha dan kau. Aku, Keysha dan kau seolah telah menjadi satu keluarga yang tak terpisahkan. Keysha, malaikat kecil yang baik, dan kau, yang memberikan cahaya justru di saat keadaanmu seperti ini. Memilikimu sekarang, seolah adalah anugerah yang terindah.Keysha yang sangat pengertian. Dia kadang berinisiatif memijit kakiku saat lelah. Kadang menyediakan minuman teh hangat. Kadang berinisiatif membelikan makan atau snack di warung sebelah. Aku tak tahu bagaimana harus berterimakasih atas hidup yang indah ini.
Apa yang dilakukan Keysha rupanya berpengaruh besar kepadamu. Kau mencontohnya. Hingga suatu hari, kau mulai bejalar menyediakan air minum untukku. Subhanallah, suatu hal yang kurasa belum pernah engkau lakukan padaku seumur hidupmu. How nice. Aku tak akan pernah lupa hari itu. Apa lagi yang bisa membahagiakan seorang perempuan kecuali memiliki kekasih yang perhatian dan pengertian?
***
RS Harapan Sehat
“Ibu Jarot”, panggilan perawat mempersilahkanku masuk.
Seperti biasa Dokter Maria meyambutku, tetapi kali ini dia bersama dengan seorang lelaki dengan usia lima puluhan disampingnya. Berpakaian tak jauh beda, sesama rekan dokter.
“Ibu Jarot. Saya ingin memperkenalkan rekan saya. Dokter Andreas Hutomo. Dia adalah rekan seprofesi saya, tetapi beda spesialisasi. Kalau saya spesialisasi bedah dan organ dalam, kalau dia spesialisasinya di saraf.”
Kami saling berkenalan.
Dokter Maria melanjutkan.
“Begini, Bu Jarot. Apa yang terjadi pada suami ibu, Pak Jarot, bagi saya adalah fenomena kedokteran yang sangat luar biasa. Pak Jarot membantah semua asumsi saya yang semula saya pikir tidak mungkin mengalami kemajuan sepesat ini. Beberapa data menunjukkan tanda-tanda yang tak biasa.”
“Nah, saya pikir, sayang seandainya apa yang dialami Pak Jarot ini dibiarkan saja. Karena menurut saya, ini akan menjadi fenomena ilmu pengetahuan di bidang kedokteran yang luar biasa. Hanya saja, saya tidak punya kapasitas lebih dari sekedar penguasaan organ-organ dalam tubuh. Lalu, saya mengajak Dokter Andreas ini untuk melihat data-data yang saya peroleh dari perkembangan kesehatan Pak Jarot.”
Dokter Maria mempersilankan Dokter Andreas untuk berbicara.
“Ibu Jarot. Setelah saya mengamati data-data yang diberikan oleh Dokter Maria, saya optimis untuk bisa berbuat lebih baik. Tentu saja dengan persetujuan ibu. Jadi begini, bu. Beberapa saraf neutorik yang ada, khususnya pada sisi spinard cord yang terhubung dengan central nervous system…”
“Maaf Dokter”, sergahku.”kalau bisa, saya memerlukan bahasa yang lebih awam?”
“Oh maaf,” Dokter Andreas tersenyum.”Intinya begini, Bu. Jaringan syaraf di kepala Bapak ini sudah membaik ataupun berangsur normal, dibandingkan dengan awal kecelakaan dulu. Itu saya ketahui dari foto rontgen dan data yang ada di Dokter Maria. Hanya saja, memang ada hambatan di bagian belakang kepala dimana jaringan inti syarafnya terhalangi oleh benjolan tulang dan bekas kecelakaan.”
“Berbahayakah itu dokter?”tanyaku khawatir.
“Tidak ibu. Justru sebaliknya. Perkembangan ini menggembirakan dan mengherankan. Saya optimis, dengan satu kali operasi, kita bisa memperbaiki benjolan ini dan mengembalikan posisi jaringan syaraf yang ada. Itu saja,” kata Dokter Andreas.
Dua dokter ini tersenyum senang, tetapi aku masih belum maksud apa yang mereka bicarakan.
“Sa…saya masih belum mengerti, Dok. Kalau memang benjolan itu dihilangkan dengan satu operasi. Apa yang terjadi dengan suami saya?”
Dokter Maria angkat bicara.
“Artinya, suami ibu akan kembali kesadarannya dan kesehatannya sebagaimana sebelum kecelakaan yang menimpanya, Bu. Dia akan normal seperti sediakala dengan satu kali operasi. Saya optimis.”
………………………..deg………………….
……………..deg……………………….
…………….deg…….
Aku tak tahu harus bicara apa. Yang terasa padaku hanyalah leleran air mata. Seolah memoriku dikembalikan pada sosokmu yang terlupakan, sosok yang tak kusukai, sosok sebelum kecelakaan itu dan semua pertengkaran itu.
Dokter Maria kembali bicara.
“Ibu, soal biaya tidak usah khawatir. Gratis. Sudah ada pihak sponsor dari kami yang menanggung semua biaya operasi. Karena, hasil dari kasus ini bisa memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia. Jadi jangan bersedih, Ibu,” kata Dokter Maria sambil menepuk pundakku, saat aku tertunduk. Dok, andai kau tahu isi hatiku.
“Kapan operasi suami saya akan dilakukan, Dok?,” tanyaku.
“Lusa kita bisa mulai, Ibu”
Lusa?
***
Malam itu, aku memandangimu yang tidur bersama Keysha. Kalian tampak bahagia seperti hari kemarin. Perasaanku tak karuan. Ya Allah, seolah baru kemarin kau berikan kami harapan hidup, tetapi dengan cepat kau ambil kembali. Seolah baru kemarin aku melupakan bahwa kata cerai pernah terlitas dalam benakku. Seolah baru lenyap segala mimpi buruk tentang temperamenmu dan kelakuanmu. Seolah segala kejadian mencekam di puncak malam itu telah lama terkubur. Sekarang, semuanya seolah ditampakkan kembali dan akan dihadapkan padaku lagi.
Keysha…oh Keysha malaikat kecilku. Akankah hatimu menjadi luka lagi karena ayahmu yang dulu esok akan kembali.
Aku tak tega memandangi Keysha yang masih lelap. Aku segera beralih ke teras. Memandangi rembulan. Memandangi secarik surat pernyataan kesanggupan akan diadakannya operasi untukmu. Ya! Bisa saja aku memilih untuk tidak mengijinkan operasimu. Mungkin itu lebih baik untuk kami. Ya! Atas nama kebahagiaan Keysha, atas nama kebahagiaanku, apakah tidak lebih baik untuk aku tolak tawaran Dokter Andreas? Ya! Aku bisa saja berdalih bahwa operasi itu akan mengancam keselamatanmu. Atau..bisa saja dengan alasan lain yang lebih jujur..bahwa kami belum siap..Mungkin?..Itukah keputusanku?
Tiba-tiba, pipiku terasa dingin. Saat tersadar dari lamunanku. Tanganmu meyentuh leleran air mataku. Tanpa kusadari, ternyata kau sudah ada di sampingku, Mas Jarot. Kau tampak tidak suka melihatku menangis. Di tanganmu yang lain sudah ada segelas air putih, sebagaimana yang biasa kau berikan padaku jika melihatku lelah.
Aku terpaku menatapmu. Memandangi kepolosanmu. Memandangi bahwa kau yang sekarang, yang penuh dengan kasih sayang dan kebahagiaan untuk kami, esok mungkin takkan ada lagi.Malam itu, kubenamkan diriku dalam dekapanmu. Keputusanku sudah bulat.
***
Mas Jarot sayang, itulah kisah yang bisa kutuliskan di dalam surat ini. Semoga, setelah kau siuman, dan sadar, kau bisa membacanya dan mengerti isi hati kami.
Sekian,
Majaksingi, 15 Agustus 2010
Salam dari aku dan Keysha

3 comments: